Arsitektur Heritage di Kota Palopo

Warisan budaya yang berada di Tana Luwu sangat beragam. Kategorisasi dari warisan budaya dapat dibagi atas dua macam yaitu tangible dan intangible. Sedangkan warisan intangible merupakan warisan yang tak teraga seperti filosofi hidup masyarakat Luwu yakni, Getteng, Lembu, dan adele'. Warisan Tangible salah satunya berupa karya arsitektur.

Karya arsitektur yang telah menjadi ikon kota Palopo adalah Mesjid Jami Tua. Tipologi mesjid syarat makna dan nilai-nilai sosial dan spiritual. Simbol yang diinterpretasikan pada atap mesjid jami dengan bentuk bersusun tiga bermakna tingkatan filosofi hidup.
Bangunan yang terbangun pada tahun 1604 M tergolong dalam periode arsitektur pada pada masa islam. Babakan sejarah di kota Palopo terbagi atas 4 masa yang terdiri dari masa klasik Hindu/Budha (Pra Islam), Masa Islam, Kasik Kolonial, dan masa setelah kemerdekaan.
Masa Kolonial, Wilayah Luwu terbagi atas lima Onderafdaling yaitu Palopo, Masamba, Malili, Kolaka dan Makale-Rantepao (Tana Toraja). Pembagian ini jika dirunut pada peradaban kedatuan Luwu terkait dengan masuknya Toraja menjadi bagian dari salah satu anak suku dari kedua belas anak suku Luwu.
Luwu adalah suatu negeri yang pernah dipimpin oleh kedatuan. Dari masa ke masa hingga masuknya islam di Luwu sekitar abad ke XVI sehingga terjadi adanya perubahan ruang. Masa kerajaan sebelum islam masuk terdapat karya arsitektur bernama Langkanae yang menjadi pusat kosmos Luwu. Langkanae menjadi simbol konsentrasi segala bentuk aktivitas dan adat-istiadat bahkan perkembangan kebudayaan. Langkanae berupa rumah panggung besar yang berfungsi sebagai istana datu atau rumah dinas Datu menjadi rentan dari segala bentuk ancaman termasuk pada era penjajajahan belanda. Masuk Belanda di Pusat Luwu yang pada saat itu telah berada di Palopo membuat Langkanae berubah menjadi Istana bergaya klasik Eropa. Bangunan belanda yang sekarang menjadi tempat aktivitas pihak kedatuan (Datu Luwu ke 40) disebut Salassae.